Dalam agama islam kita mengenal puasa dua macam yaitu puasa bulan romadhan dan puasa sunnah, artikel kali ini menulis tentang puasa sunnah dalam satu tahun , yuk kita baca puasa sunnah apa sajakah ? itu.
1. Puasa Senin Kamis
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Berbagai
amalan dihadapkan (pada Allah) pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka jika
amalanku dihadapkan sedangkan aku sedang berpuasa.” (HR. Tirmidzi
no. 747. Shahih dilihat dari jalur lainnya).
Dari ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
menaruh pilihan berpuasa pada hari senin dan kamis.” (HR. An Nasai
no. 2360 dan Ibnu Majah no. 1739. Shahih)
2. Puasa Tiga Hari Setiap Bulan Hijriyah
Dianjurkan
berpuasa tiga hari setiap bulannya, pada hari apa saja. Mu’adzah bertanya pada
‘Aisyah, “Apakah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa tiga hari setiap bulannya?”
‘Aisyah menjawab, “Iya.” Mu’adzah lalu bertanya, “Pada hari apa beliau melakukan
puasa tersebut?” ‘Aisyah menjawab, “Beliau tidak peduli pada hari apa beliau puasa
(artinya semau beliau).” (HR. Tirmidzi no. 763 dan Ibnu Majah no.
1709. Shahih)
Namun, hari yang
utama untuk berpuasa adalah pada hari ke-13, 14, dan 15 dari bulan Hijriyah
yang dikenal dengan ayyamul biid.[2] Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
berpuasa pada ayyamul biidh ketika tidak bepergian maupun ketika bersafar.”
(HR. An Nasai no. 2345. Hasan). Dari Abu Dzar, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallambersabda padanya, “Jika engkau ingin berpuasa tiga hari setiap
bulannya, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan Hijriyah).”
(HR. Tirmidzi no. 761 dan An Nasai no. 2424. Hasan)
3. Puasa Daud
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa yang paling disukai oleh Allah adalah
puasa Nabi Daud. Shalat yang paling disukai Allah adalah Shalat Nabi Daud.
Beliau biasa tidur separuh malam, dan bangun pada sepertiganya, dan tidur pada
seperenamnya. Beliau biasa berbuka sehari dan berpuasa sehari.”
(HR. Bukhari no. 3420 dan Muslim no. 1159)
Cara melakukan
puasa Daud adalah sehari berpuasa dan sehari tidak. Syaikh Muhammad bin Sholih
Al ‘Utsaimin rahimahullahmengatakan, “Puasa Daud sebaiknya hanya
dilakukan oleh orang yang mampu dan tidak merasa sulit ketika melakukannya.
Jangan sampai ia melakukan puasa ini sampai membuatnya meninggalkan amalan yang
disyari’atkan lainnya. Begitu pula jangan sampai puasa ini membuatnya
terhalangi untuk belajar ilmu agama. Karena ingat, di samping puasa ini masih
ada ibadah lainnya yang mesti dilakukan. Jika banyak melakukan puasa malah
membuat jadi lemas, maka sudah sepantasnya tidak memperbanyak puasa. … Wallahul
Muwaffiq.”[3]
4. Puasa di Bulan Sya’ban
‘Aisyah radhiyallahu
‘anha mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak biasa
berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.”
(HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 1156). Yang dimaksud di sini adalah
berpuasa pada mayoritas harinya (bukan seluruh harinya[4]) sebagaimana
diterangkan oleh Az Zain ibnul Munir.[5] Para ulama berkata bahwa
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak menyempurnakan berpuasa sebulan penuh
selain di bulan Ramadhan agar tidak disangka puasa selain Ramadhan adalah
wajib.[6]
5. Puasa Enam Hari di Bulan Syawal
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian
berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.”
(HR. Muslim no. 1164)
6. Puasa di Awal Dzulhijah
Dari Ibnu ‘Abbas,
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai
oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10
hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di
jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad di
jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun
tidak ada yang kembali satupun.” (HR. Abu Daud no. 2438, At
Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968. Shahih). Keutamaan
sepuluh hari awal Dzulhijah berlaku untuk amalan apa saja, tidak terbatas pada
amalan tertentu, sehingga amalan tersebut bisa shalat, sedekah, membaca Al
Qur’an, dan amalan sholih lainnya.[7] Di antara amalan yang dianjurkan di awal
Dzulhijah adalah amalan puasa.
Dari Hunaidah bin
Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal
Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap
bulannya[8], …” (HR. Abu Daud no. 2437. Shahih).
7. Puasa ‘Arofah
Puasa ‘Arofah ini
dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata, “Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa ‘Arofah? Beliau
menjawab, ”Puasa ‘Arofah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang
akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau
menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu”
(HR. Muslim no. 1162). Sedangkan untuk orang yang berhaji tidak dianjurkan
melaksanakan puasa ‘Arofah. Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata, “Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa ketika di Arofah. Ketika itu
beliau disuguhkan minuman susu, beliau pun meminumnya.” (HR.
Tirmidzi no. 750. Hasan shahih).
8. Puasa ‘Asyura
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa yang paling utama setelah (puasa)
Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah – Muharram. Sementara shalat yang paling
utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no.
1163). An Nawawi -rahimahullah- menjelaskan, “Hadits ini merupakan
penegasan bahwa sebaik-baik bulan untuk berpuasa adalah pada bulan
Muharram.”[9]
Keutamaan puasa
‘Asyura sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Qotadah di atas. Puasa ‘Asyura
dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertekad
di akhir umurnya untuk melaksanakan puasa ‘Asyura tidak bersendirian, namun
diikutsertakan dengan puasa pada hari sebelumnya (9 Muharram). Tujuannya adalah
untuk menyelisihi puasa ‘Asyura yang dilakukan oleh Ahlul Kitab.
Ibnu Abbas radhiyallahu
’anhuma berkata bahwa ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan
puasa hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, pada
saat itu ada yang berkata, “Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan
oleh Yahudi dan Nashrani.” Lantas beliau mengatakan, “Apabila tiba tahun depan
–insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari
kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan, “Belum sampai tahun depan,
Nabi shallallahu
’alaihi wa sallamsudah keburu meninggal dunia.” (HR. Muslim no.
1134).
Pertama: Boleh berniat puasa sunnah setelah
terbit fajar jika belum makan, minum dan selama tidak melakukan hal-hal yang
membatalkan puasa. Berbeda dengan puasa wajib maka niatnya harus dilakukan
sebelum fajar.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha, ia berkata, “Pada suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu mempunyai makanan?” Kami menjawab,
“Tidak ada.” Beliau berkata, “Kalau begitu, saya akan berpuasa.” Kemudian
beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata, “Wahai Rasulullah,
kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kura, samin dan
keju).” Maka beliau pun berkata, “Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi
tadi aku berpuasa.” (HR. Muslim no. 1154). An Nawawi memberi judul
dalam Shahih
Muslim, “Bab: Bolehnya melakukan puasa sunnah dengan niat di siang hari
sebelum waktu zawal (bergesernya matahari ke barat) dan bolehnya membatalkan
puasa sunnah meskipun tanpa udzur. ”
Kedua: Boleh menyempurnakan atau membatalkan puasa sunnah.
Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah diatas. Puasa sunnah merupakan pilihan bagi
seseorang ketika ia ingin memulainya, begitu pula ketika ia ingin meneruskan
puasanya. Inilah pendapat dari sekelompok sahabat, pendapat Imam Ahmad, Ishaq,
dan selainnya. Akan tetapi mereka semua, termasuk juga Imam Asy Syafi’i
bersepakat bahwa disunnahkan untuk tetap menyempurnakan puasa tersebut.[10]
Ketiga: Seorang istri tidak boleh berpuasa
sunnah sedangkan suaminya bersamanya kecuali dengan seizin suaminya. Dari Abu
Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah
seorang wanita berpuasa sedangkan suaminya ada kecuali dengan seizinnya.”
(HR. Bukhari no. 5192 dan Muslim no. 1026)
An Nawawi rahimahullah menjelaskan,
“Yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah puasa sunnah yang tidak terikat
dengan waktu tertentu. Larangan yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah
larangan haram, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama Syafi’iyah. Sebab
pengharaman tersebut karena suami memiliki hak untuk bersenang-senang dengan istrinya
setiap harinya. Hak suami ini wajib ditunaikan dengan segera oleh istri. Dan
tidak bisa hak tersebut terhalang dipenuhi gara-gara si istri melakukan puasa
sunnah atau puasa wajib yang sebenarnya bisa diakhirkan.”[11] Beliau rahimahullah menjelaskan
pula, “Adapun jika si suami bersafar, maka si istri boleh berpuasa. Karena
ketika suami tidak ada di sisi istri, ia tidak mungkin bisa bersenang-senang
dengannya.”[12]
Semoga Allah beri
taufik untuk beramal sholih. [Muhammad Abduh Tuasikal]Source: http://buletin.muslim.or.id/fiqih/puasa-sunnah-dalam-setahun
Selamat membaca semoga artikel ini menambah pengetahuan kita tentang puasa sunnah.